KONVERGENSI MEDIA




Judul     : Konvergensi Media

Penulis : Dudi Iskandar
Penerbit : Penerbit Andi
Tahun   : 2018
Halaman : 334halaman



KONVERGENSI MEDIA

Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transportasi bahkan bermetamorfosis. Menurut Roger Filder media berkembang dengan nama mediamorfosis. Dan mediamorfosis ini memiliki 3 konsep, yaitu : koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Roger filder juga mendefinisikan mediamorfosis sebagai transformasi media komunikasi yang biasanya timbul akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi.

Konvergensi juga merupakan aplikasi dari teknologi digital yaitu integrasi teks, suara, angka, dan gambar, bagaimana berita diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi. Dailey, Demo, dam Spillman menjelaskan aktivitas konvergensi media meliputi antara lain cross promotion (lintas promosi), cloning (penggandaan). Dengan konvergensi media, berita yang dahulu disebut mengabarkan peristiwa yang sudah terjadi, kini definisi tersebut berubah menjadi peristiwa yang sedang terjadi. Konvergensi media bakal menghadirkan konstruksi social media baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam setiap siaran, tayangan dan tulisan di media mengandung ideology dan kepentingan pemilik, pemegang saham, redaktur, prosedur, penulis atau editornya. Hal ini disebabkan siaran, tayangan dan atau tulisan untuk khalayak, baik yang dijual ataupun digratiskan akan membentuk makna tertentu. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi, yaitu : makna si penutur, makna bagi si pendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna adalah hubungan social yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan reseptor ketika tindakan sedang berlangsung.

Menurut Stuart Hall, makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan, sebab makna adalah produksi sosial, suatu praktik. Tayangan, tulisan juga siaran yang dilontarkan dan menjadi perbincangan khalayak disebut wacana(discourse). Makin  besar wacana yang dihasilkan melalui media, makin besar peluang memproduksi makna untuk khalayak.

Strategi itu digunakan oleh Kompas Grup, Media Grup dan MNC Grup. Berdasarkan hasil 3x riset Remotivi-lembaga inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia- bahwa televisi kita hari ini adalah televisi satu dimensi. Masing-masing memiliki agenda politik tersendiri; agenda politik tersembunyi(political hidden agenda).

Dalam konteks percepatan produksi berita sesungguhnya profesi wartawan merupakan profesi yang terjajah; profesi yang tidak memiliki pencerahan kecuali bekerja, bekerja dan bekerja; profesi mekanistik mesin; harusterus berproduksi karena tuntutan permodal. Tidak penting wartawan menghasilkan tulisan bagus atau memproduksi analisis mendalam kalau tidak laku dijual. Berita buruk atau berita pesanan pun jadi yang terpenting laku dijual, menghasilkan laba; perusahaan untung.

Menurut Yuyan Ernest Zhang menyatakan bahwa kovergensi sebagai sesuatu yang tidak terelakan di era digital. Disini diutuhkan strategi untuk terus bertahan dan berkembang, ada tiga factor yang menyebabkan konvergensi tidak bisa dihindari, yakni : proses organisasi dari atas kebawah(top-down process), proses tekanan dari konsumen, dan pengendalian melalui teknologi digital.

MEDIA SEBAGAI IDEOLOGI DAN AKTOR POLITIK
Dalam teori wacana Michael Foucault, ada beberapa istilah kunci, episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan genealogi. Istilah-istilah itu sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produtif, dan menyebar serta diskontruksi dengan cara simulasi.

Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima wacana yang diangkat dalam penelitian ini menemukan signifikansinya. Wacana-wacana itu adalah kecurangan kampanye Pilpres, Dugaan pelanggaran HAM Prabowo, Debat Capres-Cawapres, Konser Salam 2 Jari, dan keberpihakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kelima wacana itu merupakan representasi dari pola pikir redaksi Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup sebagai subjek atau pemroduksi wacana.

Penyebaran lima wacana oleh Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup, mengandung ideology masing-masing pada masa kampanye pemilihan Presiden 2014. Ideology adalah makna yang dipakai untuk kekuasaan. Model umum yang dilakukan sebuah ideology adalah Legitimasi, penipuan, dan fragmentasi. Wacana yang bersifat ideologis karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi.

KONTESTASI MEDIA

Pada kampanye Pilpres 2014 sangat terasa pilihan-pilihan politik media terhadap pasangan tertentu. Metro TV dengan Surya Paloh dan Partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo di MNC dan Aburizal pada Viva. Masing masing menggunakan media untuk kepentingan politik para pemiliknya. Televisi khususnya yang menggunakan frekuensi public seharusnya dipergunakan untuk kepentingan public bukan untuk kampanye politik golongan tertentu.

Harus diakui bahwa keberpihakan politik dalam kampanye Pilpres 2014 membuat media-media yang berafiliasi atau dimiliki oleh politisi dari partai politik tertentu kualitas beritanya sangat buruk. Bahkan, untuk sekedar memenuhi kode etik jurnalistik saja tidak bisa. Oleh sebab itu, masyarakat harus sadar bahwa tidak ada media yang netral. Media hanya menyediakan pilihan dan penilaian terhadap calon tertentu. Media memilki bingkai dan kepentingan tertentu dalam berita-beritanya.

ETIKA JURNALISTIK

Sepanjang perjalanan perubahan jurnalisme dari cetak, telivisi, radio, dan kini situs berita (media online) selalu menghadirkan persoalan. Salah satu persoalan mendasar adalah dilema etika jurnalisme dan keguncangan etika yang paling dahsyat dari kehadiran situs berita yang bersifat online. Publikasi media online yang berskala global tidak bisa disesuaikan dengan perangkat etika journalism lama. Etika jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang berkualitas dan public pun mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan.

Masalah lain adalah persoalan etika pada format jurnalisme. Etika yang media cetak minded harus segera ditinggalkan. Kesadaran akan digital harus menghadirkan Etika yang berbeda, yakni etika digital minded. Kegagalan mengubah dan memahami etika digital minded ini akan menyebabkan kegalauan epistemology. Kode etik jurnalistik memiliki sejarah yang panjang dengan media cetak dan jurnalistik itu diformulasikan oleh media cetak. Bahwa kemudian muncul ragam ataupun format jurnalisme yang baru didorong oleh teknologi komunikasi, itu kemudian memunculkan varian-varian lain dalam kode etik.

POST JURNALISM

Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena Post-Jurnalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-truth. Kamus oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta dalam jurnalistik tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini public dibanding emosi dan keyakinan personal. Artinya, fakta atau periswtiwa dalam sebuah berita hanya sebagai cikal bakal semata, tetapi yang membentuk presepsi dan pengaruh ke public adalah adukan emosi, rasa sentiment, dan keyakinan pribadi.

Dalam Post Jurnalism tidak ada standar etika dan moralitas yang bisa dipegang. Realitas jurnalisme disebut dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat kesulitan untuk membedakan antara berita dan hoax, informasi palsu dan keterangan asli, gossip dianggap berita. Dan sebaliknya berita dianggap sebagai gossip. Kini di Indonesia berada di Post-Jurnalism. Pertarungan sarkatis, vulgar, dan tuna etika dibidang media bahkan tidak mungkin terjadi pada Pilpres 2019, bahkan dengan lebih dahsyat lagi. Sesungguhnya Pilpres 2019 adalah babak kedua dari Pilpres 2014.

Achmad Naufal Ferdiansyah(1771500459)



Komentar